Sumber daya genetik Indonesia diincar asing. Banyak peneliti berkedok
turis yang datang untuk melakukan inventarisasi keragaman hayati dan
genetik Indonesia. Indonesia perlu waspada. Deputi Pengendalian
Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim Menteri Lingkungan Hidup Arief
Yuwono mengatakan bahwa dalam jalur legal saja, banyak peneliti asing
yang mengajukan diri melakukan riset biodiversitas Indonesia. Sekitar 70 persen dari 500 proposal penelitian yang masuk adalah penelitian biodiversitas. Biodiversitas
yang menempatkan Indonesia sebagai negara terkaya kedua diincar sebab
dapat menjadi peluang bisnis. Sumber daya alam Indonesia bisa diolah
menjadi bahan obat yang jika dipatenkan bisa mendatangkan keuntungan
miliaran rupiah. Diambilnya sumber daya alam dan pengetahuan
tradisional oleh asing menjadi perhatian karena selama ini tidak ada
pembagian keuntungan. Pihak asing menuai untung besar karena pematenan
dan penjualan sementara Indonesia ataupun masyarakat adat yang memiliki
pengatahuan tak dapat apa pun. sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional
Indonesia memerlukan perlindungan. Perlindungan tersebut bisa diupayakan
dengan meratifikasi Protokol Nagoya yang telah ditandatangani
sebelumnya oleh Menteri Lingkungan Hidup. Protokol Nagoya kuat sebab menyebut soal benefit sharing Agar
sumber daya genetik terlindungi, ratifikasi juga perlu ditindaklanjuti
dengan inventarisasi sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional.
Perlu national focal point yang mengelola data sumber daya tersebut. Tanpanya, ratifikasi sia-sia. Inventarisasi
kekayaan genetik perlu dukungan masyarakat. Indonesia belum punya database terpadu
kekayaan hayati. Data lengkap jadi syarat mutlak pelaksanaan Protokol
Nagoya yang dengan bersemangat hendak diratifikasi. Protokol Nagoya disepakati saat Pertemuan Para Pihak (COP) ke-10,
Oktober 2010, di Nagoya, Jepang. Indonesia baru menandatangani pada 11
Mei 2011 di New York, Amerika Serikat. Protokol itu bermaksud melindungi
sumber daya genetik masyarakat lokal di sebuah negara dari pemanfaatan
komersial.
Namun, klaim masyarakat butuh bukti kuat yang didampingi negara. Soal ratifikasi, prosesnya masih berada di DPR. kesiapan instrumen di dalam
negeri, seperti inventarisasi kekayaan alam genetika, masih lamban.
Artinya, kekuatan potensi ini belum diketahui detail. Dengan
rentang waktu lebih dari dua tahun sejak pertemuan di Nagoya,
selayaknya penyusunan basis data keanekaragaman hayati telah banyak
kemajuan. Selain basis data, ia juga menyinggung kejelasan lembaga pengelola atau alur mekanisme pelaksanaan Protokol Nagoya. Asisten
Deputi Keanekaragaman Hayati dan Kerusakan Lahan Kementerian Lingkungan
Hidup Antung Dedi Rahadiansyah mengatakan, dalam draf rancangan Rencana
Aksi Implementasi Protokol Nagoya ditargetkan basis data selesai paling
lambat 2014. ”Saat ini KLH selaku focal point dan Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia sebagai scientific authority sudah
mengidentifikasi lokasi dan kementerian/lembaga yang menjadi
sumber-sumber data sumber daya genetik di Indonesia,” ungkapnya. Instansi
itu, antara lain, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian
Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Riset dan Teknologi,
perguruan tinggi, dan herbarium daerah. (ICH)
0 komentar:
Post a Comment